Wednesday, October 18, 2017

PENGARUH TASAWUF DALAM PENDIDIKAN KARAKTER




MAKALAH

WAWASAN ISLAM

Tentang:

TASAWUF








Oleh:
Angga Hardianto


Dosen Pembimbing:
Dr. Ahmad Zuhdi, MA





FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
  




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu ajaran yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adalah tasawuf. Sebagai salah satu disiplin keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dikhadirat Tuhan. Disisi lain di dunia pendidikan untuk yang sekarang menurut kebanyakan orang sangatlah penting dan yang lebih penting yang tertera dalam Hadist Nabi SAW bahwa setiap muslim wajib akan mencari ilmu. Dari sini maka akan timbul pertanyaan apa yang dimaksud tasawuf itu sendiri? Dan bagaimana dengan dunia pendidikan, yang dominannya semua orang berada dalam lingkup ruangan tersebut? Apa ada pengaruhnya bagi dunia pendidikan?
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian tasawuf ?
2.      Apa dasar-dasar tasawuf ?
3.      Apa tujuan tasawuf ?
4.      Bagaimana tasawuf menurut para ahli ?
5.      Bagaimana ajaran tasawuf ?
6.      Apa pengertian pendidikan karakter ?
7.      Apa pilar-pilar pendidikan karakter ?
8.      Apa nilai-nilai pendidikan karakter
9.      Bagaimana pengaruh pemikiran tasawuf dalam pendidikan karakter ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf
Secara etimologi
pengertian tasawuf terdiri dari beberapa macam pengertian sebagai berikut:
Pertama, kalimat tasawuf masuk dalam “babut-tafaul” dengan wazan Tasawwufa, Tasawwufan. Contoh penggunaan: “Tasawwufar-rajulu” yakni laki-laki telah berpindah halnya dari kehidupan biasa kepada kehidupan yang suci.[1]
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shafa” (صفاء). Yang berarti bersih/suci.[2] Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhan.
Ketiga, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata “shaf (صف), yang berarti barisan[3]. Makna “shaf” ini dinisbahkan kepada orang yang ketika sholat selalu berjamaah.
Keempat, disebutkan dalam buku “Akhlak Tasawuf (A. Mustofa), bahwa lafal tasawuf merupakan mashdar dari fi’il : تَصَوَّفَيَتَصَوَفُ menjadi : تَصَوُّفًا
Kata تَصَوَّفَيَتَصَوَفُ merupakan فٍعْلُ مَزِيْدُ بِحَرْفَيْنِ (kata kerja tambahan dua huruf). Yang sebenarnya berasal dari فٍعْلُ مُجَرَّدُ ثُلَاثِيّ (Kata kerja asli tiga huruf), yang berbunyi : صَافَيَصُوْفُ menjadi صَوْفًا (mashdar); artinya memakai bulu (domba) yang banyak.
Perubahan dari kata: صَافَيَصُوْفُصَوْفًا menjadi kata: تَصَوَّفَيَتَصَوَفُتَصَوُّفًا yang diistilahkan dalam bahasa Arab; menjadi atau perpindah.
Jadi lafal التَصَوَّف yang artinya (menjadi) berbulu domba, dengan arti adalah menjadi sufi, yang ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba. Akan tetapi, pemakaian kata ini,menjadi perbedaan dikalangan ulama Tasawuf.

Kelima:  Ada juga yang mengatakan Tasawuf itu berasal dari kata “shuf” (صوف) yang berarti bulu domba atau wol kasar. Pemakaian wol kasar pada saat itu merupakan simbol dari kesederhanaan dan menjadi ciri khas dari kemiskinan.[4] Sebagai lawan dari ciri khas ini adalah pemakaian kain sutera halus oleh orang-orang yang bergaya hidup mewah dikalangan orang-orang pemerintahan. Namun tidak semua Sufi yang memakai “Shuf, hal tersebut hanya menjadi ciri khas kesederhanaan. Selain dari itu juga disebutkan bahwa makna Shuf/Bulu domba, sebab para sufi dihadapan Tuhannya selalu merasa bagaikan selembar bulu yang tidak mempunyai nilai apa-apa.[5]
Pemahaman yang dapat diambil dari berbagai arti secara bahasa adalah, bahwa Tasawuf itu merupakan upaya mengubah kehidupan menjadi lebih bersih/suci, dengan menjalankan perintah Agama, dan menjalankan kehidupan dalam kesederhanaan dan tidak berlebihan.
Secara istilah
Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf. Di antaranya ialah:
1.         Ruwaim berkata, “Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki Allah.
2.         Kattani berkata, “Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlak, bertambah baik (pula) tasawufnya.”
3.         Abu Muhammad Al-Jariri berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang buruk” [6]
4.         Al-Junaid Al-Bagdadi, “Tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa ‘alaqah (tanpa perantara).”[7]
5.         Syaikh Abdul Qadir Jailani berpendapat bahwa: “Tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu (yang tidak baik) dari pangkalnya dengan khalwat, riyadah dan terus-terus berzikir dengan dilandasi iman yang benar, taubat, mahabbah dan ikhlas.[8]
6.         Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kudry mengatakan: “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dari sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah-Nya”.[9]
7.         Prof. Dr. Hamka: Tasawuf ialah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam, supaya dia mudah menuju kepada Allah.[10]
Demikian pendapat jumhur ulama’ tentang arti tasawuf. Secara garis besar  tasawuf bisa didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus berakhlak mulia dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT (bertawakal).

B.     Dasar-dasar Tasawuf
1.      Dasar Al-Quran
Al-Qur’an dan As-sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan di mana pun dibebani tanggung jawab untuk memahami dan melkasanakan kendungannya dalam bentuk amaln yang nyata. Pemahaman terhadap nash tanpa pengalaman akan menimbulkan kesenjangan.
Dalam hal inilah, tasawuf, pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak dan keagamaan. Moral ini banyak disinggung dalam Al-Quran dan As-sunnah. Dengan demikian, sumber utama tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Al-Quran, As-sunnah dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat.[11]
2.      Dasar Hadis
Sejalan dengan apa yang disitir dalam Al-Quran, ternyata tasawuf dapat juga dilihat dalam kerangka hadist. Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan ajaran-ajaran tasawuf adalah hadist-hadist berikut:
Artinya: “Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, amka akan mengenal Tuhannya”
Artinya: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku
Hadis di atas memberi petunjukk bahwa manusai dan Tuhan dapat bersatu.[12]
C.    Tujuan Tasawuf
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syekh Zakaria Al-Anshari mendefinisikan.[13]
Kesucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah merupakan dua faktor yang paling penting dalam ajaran Tasawuf dan menjadi perhatian utama. Perjalanan spiritual Tasawuf bertitik tolak dari kesucian qolbu.[14]
Hadits nabi menganai qolbu/hati:
... إن في الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدَ كُلّهُ ، وإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدَ كُلُّهٌ ألَا وَهِيَ القَلْبُ
Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari).[15]
Jadi, tujuan dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.
Selain dari itu, ada juga yang berpendapat bahwa tujuan tasawuf adalah “fana” untuk mencapai “Makrifat”. Arti fana adalah “meniadakan diri suapaya ada”, ini menurut cara filosopis. Secara tasaawuf adalah leburnya pribadi pada keabqaan Allah, dimana perasaan Keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan dalam keadaan mana, semua rasa yang menutup diri dengan Al-Haqqu Taala.[16]

D.    Pandangan Para Ahli Mengenai Tasawuf
1.      Pemikiran Tasawuf Al-Gazali
Al-Gazali berkesimpulan bahwa tasawuflah jalan yang benar menuju Tuhan, dan para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki. Jalan para sufi adalah paduan antar ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Dengan demikian menurut Al-Gazali, mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah dari pada mengamalkannya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tetapi harus dengan tersingkapan batin (kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-tabiat. Bagi al-Gazali tasawuf adalah semacam pengalaman nyata maupun penderitaan yang riil.
      Berikut ini, penulis ungkapkan mutiara-mutiara sufistik Al-Gazali yang tersebar dalam beberapa kitabnya:
a.       Barang siapa yang tidak ragu maka tidak akan berfikir, barang siapa yang tidak berfikir maka tidak akan bisa melihat, barang siapa yang tidak bisa melihat maka ia tetap dalam kebodohan  dan kesesatan.
b.      Barang siapa yang cenderung pada taklid maka ia celaka dengan mutlak.
c.       Semua manusia celaka kecuali orang berilmu, semua orang berilmu celaka kecuaili orang yang beramal dengan ilmunya, semua orang beramal celaka kecuali yang ikhlas dalam amalannya.
d.      Kenikmatan hati adalah makrifat, setiap kali makrifat bertambah besar maka bertambah pula kenikmatannya.
e.       Setiap ilmu yang tidak membawa keamanan dan ketenangan maka bukanlah ilmu yakin.[17]
2.      Pemikiran Tasawuf Al-Qusyairi
Al-Qusyairi termasuk sufi yang berhasil memadukan antara syariat dengan hakikat. Disamping itu, al-Qusyairi juga selalu melandaskan ajaran tasawufnya pada doktrin Ahlussunah. Diantara pemikiran tasawuf al-Qusyairi adalah Al-Makrifat. [18]
Menurut Bahasa, kata ma’rifat berarti mengetahui atau mengenal. Ma’rifat berarti mengetahui atau mengenalAllah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk ciptaan-Nya.[19]
Dalam pengertian para sufi makrifat adalah pengetahuan tentang Tuhan secara dekat.
Orang yang berakrifat berarti membersihkan diri dari akhlak yang buruk dan dosa-dosa, kemudian secara istiqamah mengetuk pintu Allah sambil menjauhi kemaksiatan sehingga mendapat hidayah Allah.

Allah membimbing semua keadaannya, sehingga terputuslah gelora nafsu rendah dari diri dan hatinya dan sehingga tidak pernah terdorong lagi melakukan akhlak mazmumah.
3.      Pemikiran tasawuf Al-Hallaj
Menurut al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat lahut (unsur ketuhanan) dan nasut (unsur kemanusiaan), demikian juga dalam diri Tuhan ada lahut dan nasut. Jika manusia berusaha mensucikan hati sesuci-sucinya maka akan terjadi lahut manusia naik ke atas dan nasut Tuhan turun ke bawah sehingga terjadi apa yang disebut ittihad artinya bersatunya nasut Tuhan edengan lahut manusai dalam diri manusia.
Dalam paham hulul, diri Al-Hallahj tidak hancur. Ketika ia mengatakam “Aku adalah al-Haq” bukan lah roh al-Hallaj yang mengatakan demikian , tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat pada diri Al-Hallaj. Perbedaanya dengan ittihad Abu Yazid, dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sedangkan dalam paham hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubu.
Al-Hallaj mengungkapkan :
”Aku adalah rahasia Yang benar, dan bukanlah Yang Benar itu aku, Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.[20]
Al Hallaj juga terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al-Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al-Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al-Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.[21]

E.     Ajaran-ajaran Tasawuf
Buya Hamka mengemukakan bahwa: hidup kerohanian, hidup kebatinan atau tasawuf, sudahlah lama umurnya dn telah ada pada setiap bangsa. Kadang-kadnag tasawuf menjadi tempat pulang dari orang-orang yang telah payah berjalan. Tasawuf menjadi tempat lari dari orang yang telah tersesak. Tetapi pun tasawuf telah menjadi penguat pribadi bagi orang yang lemah dan tasawufpun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi orang-orang yang telah kehilangan tempat gerak.[22]
Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, bagian yang pertama yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Termasuk di dalamnya adalah teori-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian kedua ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akherat. Sementara ada lagi yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yakni:
1. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf yang menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-karimah. Akhlak adalah keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan perbuatan, dilakukan dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu. Dengan demikian, maka nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa, ada motifasi (niat) kuat dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa dipikir dan direnungkan sehingga perbuatan itu nampak otomatis. adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Guna mencapai kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (pengosongan diri dari sikap tercela). Tahalli (menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).
2. Tasawuf Amali
ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh qalb (hati). Dalam bentuk wirid, hizib, dan doa. Selanjutnya tasawuf ini dikenal dengan tariqat (Arab: tariqah), jalan menuju Allah, yang selanjutnya menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi yang dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri kepada seorang guru (mursyid). Pengikut  tariqat harus berguru, sebab yang bertariqat tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan. Organisasi ini dihimpun dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan dengan nama perintisnya, seperti tariqat qadiriyah, naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya.
3. Tasawuf  Falsafi
Ialah tasawuf yang dipadukan dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara total dan tidak pula bisa disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya, selanjutnya dikenal tasawuf Falsafi.
Ketiga model tasawuf tersebut hanya sebatas dalam sistematika keilmuan, bukan dalam tataran praktis. Ketiga menyatu pada pribadi yang satu dan utuh. Semua proses bertasawuf akan melalui tahapan takhalli (pembersihan hati dari sifat-sifat tercela) dan tahalli (menghiasi/mengisinya dari sifat-sifat terpuji) secara simultan, sehingga tercapai tajalli (tersingkapnya hijab/tabir) antara seorang hamba dengan Tuhan. Bagi orang awam (orang pada umumnya) mencapainya dalam tataran elementer, yakni mengetahui, menghayati dan mengamalkan kebenaran, sementara bagi khawwash dan khawash al-Khawash (istimewa dan sangat istimewa), mencapai ma’rifatullah dengan mencapai nur bashirah (mata hati) kesempurnaan serta kesucian jiwa, tiada lain kecuali harus melalui pendidikan  dan latihan mental (riyadlah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
 Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati/jiwa manusia itu bagaikan cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuatnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :
žxx. ( 2ö@t/ tb#u 4n?tã NÍkÍ5qè=è% $¨B (#qçR%x. tbqç6Å¡õ3tƒ ÇÊÍÈ
Artinya : Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS. 83:14) 
Namun apabila manusia mampu menghilangkan titik noda dan senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tersebut akan mudah menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran nur illahi. Bahkan lebih dari itu, hati jiwa seseorang akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.
F.     Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter merupakan kulminasi dari kebiasaan yang dihasilkan dari pilihan etika, perilaku dan sikap yang dimiliki individu yang merupakan moral yang prima walaupun ketika tidak seorang pun yang melihatnya. Karakter juga diartikan sebagai moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan, dan sikap seseorang yang ditunjukkan kepada orang lain melalui tindakan.[23]
Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan.
Karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.[24]
Imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketiak muncul tidak perlu dipikirkan lagi.[25]
Pendidikan karakter adalah mengajarkan peserta didik tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan termasuk kejujuran, kesetaraan, dan penghargaan kepada orang lain. Tujuannya adalah untuk mendidik anak-anak menjadi bertanggung jawab secara moral dan warga negara yang disiplin.
Beberapa nilai universal yang menjadi tujuan untuk dikembangkan pada diri peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Nilai-nilai inti universal yang dimaksud adalah beretika, bertanggung jawab, peduli, jujur, adil, apresiatif, baik, murah hati, berani, bebas, setara, dan penuh prinsip. Karakter seperti ini seharusnya menjadi bagian yang terintegrasi dalam perwujudan diri peserta didik dalam berfikir, berkehendak, dan bertindak.
G.    Pilar-pilar Pendidikan Karakter
Pilar-pilar pendidikan karakter dapat dibangun dari berbagai kawasan ilmu. Ada empat domain pilar-pilar pendidikan nasional yang merujuk pada pengolahan nilai-nilai dalam kawasan pikiran, perasaan, fisik atau raga, dan pengolahan hati yang menjadi spirit dalam menggerakkan pikiran, perasaan, dan kemauan atau dikenal dengan istilah olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah raga.
1.      Olah fikir
Beberapa istilah yang berkenaan dengan olah fikir adalah otak (brain), pikiran (mind), dan cipta (thought). Ketiga istilah ini banyak dikaji dan didalami sehingga diyakini dapat mempengaruhi kemajuan pendidikan, baik kemajuan kajian teoritis maupun implementasinya termasuk dalam pendidikan karakter itu sendiri.
Pemikiran atau berfikir pada umumnya mengacu pada setiap aktivitas mental atau intelektual yang melibatkan kesadaran subjektif individu. Keutuhan manusia sebenarnya ketika mereka mampu menyelaraskan atau menyeimbangkan segala sesuatu yang dihasilkan dalam akal pikirannya, diseleksi oleh perasaannya, kemudian penyeleksian itu digunakan untuk memutuskan dan berniat dan berkehendak sehingga mampu melakukan suatu perbuatan.
2.      Olah rasa
Rasa (feeling) adalah nominalisasi kata kerja untuk merasa. Rasa merupakan salah satu aspek yang menjadi tujuan pembelajaran dan berhubungan langsung dengan kualitas karakter manusia. Adapun karakter yang terbentuk dari rasa adalah ramah, saling menghargai, suka monolong, sederhana, toleran, nasionalis, mengutamakan kepentingan umum, kooperatif dan kolaboratif.
3.      Olah hati
Secara rohania, kalbu merujuk pada makna sritual sebagai pusat dari semua bentuk emosi (intelektual dan spritual) yang diyakini sebagai kemampuan penyeimbang antara intelligence (IQ) dan quotient emotional quotion (EQ). Olah hati disini merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengelola aspek-aspek spritual yang dapat membentuk karakter manusia. Jadi, yang dimaksud dengan olah hati adalah kapasitas atau kemampuan hidup manusia yang bersumber dari hati yang paling dalam (inner capacity) yang terilhami dalam bentuk kodrat untuk dikembangkan dan ditumbuhkan dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup.
      Dalam terminologi agama, hati dipandang sebagai sesuatu yang amat halus (lathifah), tidak kasat mata, tiak dapat diraba, bersifat Robbani, mengacu pada rohani yang merupakan jati diri dan hakikat manusia yang mengenal, mengetahui, dan mengerti tentang sesuatu.
4.      Olah raga
Beberapa istilah dalam pembelajaran yang sering dihubungkan dengan pengolahan fisik (jasad) adalah olah (mengolah) raga, kinestetik atau takti, dan psikomotor. Olah raga adalah sesuatu bentuk aktivitas fisi yang terencana dan terstruktur yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran tubuh atau jasmani. Olah raga adalah aktivitas melatih tubuh, tidak hanya secara jasmani tetapi juga secara rohani. Kinestetik atau khinestesia adalah rasa yang mendeteksi posisi tubuh, berat badan, atau gerakan otot-otot, dan sendi.[26]
H.    Nilai-nilai Karakter
Empat nilai karakter yang paling terkenal dari Nabi penutup zaman adalah shiddiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (menyatukan kata dan perbuatan).
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah merumuskan 18 nilai karakter yang tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusuk Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (Kemeterian Pendidikan Nasional, 2010).
1.      Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lainnya, serta hidup rukun dan berdampingan.
2.      Jujur, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar dan melakukan yang benar), sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.
3.      Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perberdaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4.      Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan dan tata tertib yang berlaku.
5.      Kerja keras, yakni yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang sampai darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6.      Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.
7.      Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh kerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggug jawab kepada orang lain.
8.      Demokratis, yakni sikap dan cara berfikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9.      Rasa ingin tahu, yakni cara berfikir, sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keinginan terhadap segala yang dilihat, didengar dan dipelajari secara lebih mendalam.
10.  Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan.
11.  Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri.
12.  Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi.
13.  Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui kemunikasi yang santun sehingga tercipta kerjasama secara kolaboratif dengan baik.
14.  Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15.  Gemar membaca, yakni kebiasaan denga tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik nuku, jurnal, majalah, koran dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
16.  Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
17.  Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatanyang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkan.
18.  Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya baik yang terkait dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun negara.[27]
I.       Pengaruh Tasawuf dalam Pendidikan Karakter
Para ahli tasawuf membagi dengan secara ahlaki, amali, falsafi. Ketiga macam ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan menghiasi diri dari sifat yang terpuji. Seperti pemikiran beberapa ahli, imam al-Gazali mengatakan sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tetapi harus dengan tersingkapan batin (kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-tabiat. Al-Qusyairi berpendapat bahwa Allah membimbing semua keadaannya, sehingga terputuslah gelora nafsu rendah dari diri dan hatinya dan sehingga tidak pernah terdorong lagi melakukan akhlak mazmumah dan al-Hallaj berpendapat bahwa jika manusia berusaha mensucika hati sesuci-sucinya maka akan terjadi lahut manusia naik ke atas dan nasut Tuhan turun ke bawah sehingga terjadi apa yang disebut ittihad artinya bersatunya nasut Tuhan  dengan lahut manusia dalam diri manusia. Dengan demikian tasawuf harus dicapai dengan akhlak yang terpuji  terlebih dahulu, seperti menekenkan akan kejujuran, rendah hati, tidak sombong, ramah, bersih hati, berani dan semacamnya, nilai-nilai ini yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim.
Sejalan dengan hal itu  nilai-nilai universal yang menjadi tujuan untuk dikembangkan pada peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Nilai tersebut adalah beretika, bertanggung jawab, peduli, jujur, adil, baik, murah hati, berani, bebas, dan penuh prinsip. Nilai-nilai ini yang ditanamkan kepada peserta didik dengan tujuan agar peserta didik mampu berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan budi pekerti yang baik. Pendidikan karakter juga berlandaskan agama, dengan tujuan agar peserta didik mampu bertanggung jawab dengan gelar “khalifah di bumi” yang disandangnya. Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan tujuan pendidikan karakter dan tasawuf sangat erat kaitanya yang sama-sama menjadi seseorang yang berakhlak.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Tasawuf adalah pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus berakhlak mulia, membersihkan jiwanya dari sifat tercela dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT (bertawakal).
2.      Ajaran-ajaran tasawuf  terbagi akan beberapa macam antara lain tasawuf amali yang bersifat teori dan nadhzori yang bersifat pemikiran, yang nantinya tercakup akan tasawuf amali, akhlaki dan falsafi.
3.      Pengaruh tasawuf dalam pedidikan karakter adalah tasawuf menekankan kepada perbaikan akhlak agar bisa mndekatkan diri dengan sang pencipta, hel tersebut sangat berpengaruh dalam pendidikan karakter, karena tujuan pendidikan karakter juga memperbaiki akhlak peserta didik.
B.     SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, dan bernilai ibadah bagi penulis/penyusunnya.
Selanjutnya, saya menyadari bahwa manusia tidak terlepas dari khilaf dan salah, dan saya juga menyadari bahwa banyak kekurangan dalam menyusun makalah yang sederhana ini karena keterbatasan ilmu dan materi yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran sangat saya harapkan agar kami bisa lebih baik dalam menyusun makalah.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf,  (1997) Surabaya : PT. Bina Ilmu.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (1997) Surabaya: Pustaka Progressif,    cet. 2.
Ahmad Sunarto, Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia, (T.th) Surabaya: Pustaka Barokah)
Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (2001) Surabaya: Terbit            Terang.
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1.
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (1997) Bandung: Pustaka Setia.
M. Solihin, Ilmu Tasawuf, (2011) Bandung : Pustaka Setia.
Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam Studi Islam (2013) Sungai Penuh: Kerinci Press, cet. 1.
Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (2001) Surabaya: Terbit Terang.
Imam Nawawi, Hadits Abba’in (2012) Semarang: Pustaka Nuun, cet. 4.
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (2012) Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ibn ‘Atho’illah, Hakekat Ma’rifat, (T.Th) Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (2001) Pustaka Setia: Bandung.
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter, (2004) Bandung: Alfabeta.
Muchlas Samani dan Hariyanto, Pendidikan Karakter, (2013) Bandung: Remaja    Rosdakarya.
Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter, (2014) Jakarta: Prenadamedia Group.
Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (2013) Bandung: Remaja       Rosdakarya.




[1]        Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997),                   hlm. 30
[2]        Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,     cet. 2, 1997) hlm. 783
[3]        Ahmad Sunarto, Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka                           Barokah), hlm. 14. Penggunaan kata Shaf yang berarti “barisan”, juga bisa dilihat      pada Qur’an Surat Ash-shaf ayat 4
[4]        Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit            Terang, 2001), hlm. 16
[5]        Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1,               hlm. 9
[6]        http://madinagate.org/index.php/id/akidah-filsafat-dan-tasawuf/item/4466-             pengertian-tasawuf (Diunggah: tgl. 03-10-2017, 20:41) Dalam artikel ini mengutip dari: Qa’idah al-Tasawuf, Abu al-Abbas, Ahmad Muhammad Zaruq, hal. 3
[7]        Cecep Alba, Op.Cit, hlm. 10
[8]        Cecep Alba, Op.Cit, hlm. 11
[9]        A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm.202
[10]       Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997),   hlm. 31
[11]       M. Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia. 2011), h.17
[12]       Ibid, h. 26.
[13]       Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam Studi Islam (Sungai Penuh: Kerinci        Press, cet. 1, 2013), hlm. 3
[14]       Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit            Terang, 2001), hlm. 25
[15]       Imam Nawawi, Hadits Abba’in (Semarang: Pustaka Nuun, 2012), cet. 10, hlm.9
[16]       Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu. 1997), h.     164.
[17]       Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012), h. 42
[18]       Ibid, 69
[19]       Ibn ‘Atho’illah, Hakekat Ma’rifat, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, T.Th), h. 11
[20]       Opcit, h. 73.
[21]       M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Pustaka Setia: Bandung,                 2001), hlm. 44
[22]       Ahmad Zuhdi, Aspek-aspek Tasawuf dalam Stud Islam, (Sungai Penuh: Stain             Kerinci Press. 2013), h. 34.
[23]       Heri Gunawan, Pendidikan Karakter, (Bandung: Alfabeta. 2004), h. 1.
[24]       Muchlas Samani dan Hariyanto, Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja               Rosdakarya. 2103), h. 41.
[25]       Loc.Cit, h. 3.
[26]       Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Prenadamedia Group. 2014), h.              56.
[27]       Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2013), h. 9.