Friday, December 1, 2017

MAKALAH WAWASAN ISLAM Tentang TASAWUF



MAKALAH

WAWASAN ISLAM

Tentang:

TASAWUF







Oleh:
Angga Hardianto


Dosen Pembimbing:
Dr. Ahmad Zuhdi, MA





FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2017/2018 



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia pasti ingin hidup yang mulia, namun kebanyakan manusia tidak mengerti tentang hakikat kemuliaan itu. Ada yang mencari kebahagian didunia saja tapi melupakan kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan terletak pada jiwa yang bersih.
Islam telah memerintahkan umat manusia untuk selalu membersihkan jiwa. Firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
Artinya:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. Asy-Syams: 9-10).
Berbagai cara dalam penyucian jiwa yang dilakukan manusia dan umat Islam pada khususnya, Salah satu cara yang dilalukan adalah dengan menempuh jalan para sufi, yang erat disebut dengan ahli tasawuf.
Konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi yang di dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan  yang beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu berbeda antara para sufi, sehingga mereka menciptakan pemikiran-pemikiran masing-masing.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Pengertian Tasawuf
2.      Esensi Tasawuf
3.      Tujuan Tasawuf
4.      Tokoh-tokoh Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Secara etimologi
pengertian tasawuf terdiri dari beberapa macam pengertian sebagai berikut:
Pertama, kalimat tasawuf masuk dalam “babut-tafaul” dengan wazan Tasawwufa, Tasawwufan. Contoh penggunaan: “Tasawwufar-rajulu” yakni laki-laki telah berpindah halnya dari kehidupan biasa kepada kehidupan yang suci.[1]
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shafa” (صفاء). Yang berarti bersih/suci.[2] Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhan.
Ketiga, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata “shaf (صف), yang berarti barisan[3]. Makna “shaf” ini dinisbahkan kepada orang yang ketika sholat selalu berjamaah.
Keempat, disebutkan dalam buku “Akhlak Tasawuf (A. Mustofa), bahwa lafal tasawuf merupakan mashdar dari fi’il : تَصَوَّفَيَتَصَوَفُ menjadi : تَصَوُّفًا
Kata تَصَوَّفَيَتَصَوَفُ merupakan فٍعْلُ مَزِيْدُ بِحَرْفَيْنِ (kata kerja tambahan dua huruf). Yang sebenarnya berasal dari فٍعْلُ مُجَرَّدُ ثُلَاثِيّ (Kata kerja asli tiga huruf), yang berbunyi : صَافَيَصُوْفُ menjadi صَوْفًا (mashdar); artinya memakai bulu (domba) yang banyak.
Perubahan dari kata: صَافَيَصُوْفُصَوْفًا menjadi kata: تَصَوَّفَيَتَصَوَفُتَصَوُّفًا yang diistilahkan dalam bahasa Arab; menjadi atau perpindah.
Jadi lafal التَصَوَّف yang artinya (menjadi) berbulu domba, dengan arti adalah menjadi sufi, yang ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba. Akan tetapi, pemakaian kata ini,menjadi perbedaan dikalangan ulama Tasawuf.

Kelima:  Ada juga yang mengatakan Tasawuf itu berasal dari kata “shuf” (صوف) yang berarti bulu domba atau wol kasar. Pemakaian wol kasar pada saat itu merupakan simbol dari kesederhanaan dan menjadi ciri khas dari kemiskinan.[4] Sebagai lawan dari ciri khas ini adalah pemakaian kain sutera halus oleh orang-orang yang bergaya hidup mewah dikalangan orang-orang pemerintahan. Namun tidak semua Sufi yang memakai “Shuf, hal tersebut hanya menjadi ciri khas kesederhanaan. Selain dari itu juga disebutkan bahwa makna Shuf/Bulu domba, sebab para sufi dihadapan Tuhannya selalu merasa bagaikan selembar bulu yang tidak mempunyai nilai apa-apa.[5]
Pemahaman yang dapat diambil dari berbagai arti secara bahasa adalah, bahwa Tasawuf itu merupakan upaya mengubah kehidupan menjadi lebih bersih/suci, dengan menjalankan perintah Agama, dan menjalankan kehidupan dalam kesederhanaan dan tidak berlebihan.
Secara istilah
Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf. Di antaranya ialah:
1.         Ruwaim berkata, “Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki Allah.
2.         Kattani berkata, “Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlak, bertambah baik (pula) tasawufnya.”
3.         Abu Muhammad Al-Jariri berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang buruk” [6]
4.         Al-Junaid Al-Bagdadi, “Tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa ‘alaqah (tanpa perantara).”[7]
5.         Syaikh Abdul Qadir Jailani berpendapat bahwa: “Tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu (yang tidak baik) dari pangkalnya dengan khalwat, riyadah dan terus-terus berzikir dengan dilandasi iman yang benar, taubat, mahabbah dan ikhlas.[8]
6.         Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kudry mengatakan: “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dari sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah-Nya”.[9]
7.         Prof. Dr. Hamka: Tasawuf ialah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam, supaya dia mudah menuju kepada Allah.[10]
Demikian pendapat jumhur ulama’ tentang arti tasawuf. Secara garis besar  tasawuf bisa didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus berakhlak mulia dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT (bertawakal).


B.     ESENSI TASAWUF
Esensi Tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW., namun, Tasawuf belum dikenal sebagai sebuah ajaran, sebagaimana ilmu keislaman lainnya seperti Fiqh dan Ilmu Tauhid.[11]
Islam sebagai agama yang diturunkan pada masyarakat madani (kota), yaitu Mekah dan Medinah dengan mudah dan cepat telah diserap masyarakat secara logis dan rasional. Pemahaman, penghayatan dan pengamalan Islam yang benar dan lurus diperagakan Nabi dengan baik, sehingga dalam waktu singkat nabi berhasil membentuk masyarakat Islam yang kokoh. Mereka hidup tunduk dan patuh melaksanakan kewajiban keagamaan, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Kehidupan yang sederhana dan zuhud dikembangkan sedemikian rupa, sehingga memunculkan istilah Ihsan. Ihsan adalah:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ , فَإِنْ لَّمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ  
Artinya : Sembahlah Allãh seakan-akan engkau sungguh melihatnya dan bila tidak melihatnya (memang engkau tidak bisa melihatnya) maka sadarilah bawa Dia sungguh melihatmu (Hadis Riwayat Bukhari- Muslim).[12]
Ihsan dimaknai sebagai suatu kondisi atau keadaan seseorang dalam beribadah dan dalam hidup kesehariannya seolah-olahnya melihat Tuhan atau paling tidak merasakan bahwa Tuhan selalu melihat apapun yang sedang dilakukan seorang.
Ihsan adalah penyembahan kepada Tuhannya dengan penuh kesadaran, merasakan bahwa Tuhan melihatnya, Tuhan mengawasinya, Tuhan pun tahu setiap sudut kehidupan, hamba selalu berdiri hadir dihadapan-Nya. Ihsan berarti, bahwa penglihatan Tuhan terhadap hambanya, secara terus menerus tanpa dibatas ruang dan waktu. Abu Nasr As-Sarajj menjelaskan; bahwa Islam itu adalah zahir, Iman itu zahir dan batin sedangkan Ihsan itu adalah hakikat zahir dan batin (hakikat iman).[13]
Selanjutnya menghasilkan zuhud. Usaha para zahid mengembalikan kehidupan sosial masyarakat pada kesederhanaan(Qana’ah), dan berusaha mengidentifikasikan diri dengan Allah melalui perbuatan terpuji dengan menjaga kesucian diri serta melakukan ibadah-ibadah yang membersihkan hati, menjauhkan diri dari pengaruh buruk.
Muhammad Syibly berpendapat tentang zuhud, zuhud itu sebenarnya adalah gaflah(lalai) di dunia ini tidak ada sesuatu apapun jua yang dia punyai. Zuhud pada yang tak bernilai adalah lalai. Orang-orang yang zuhud(ahli ibadah yang tidak menghiraukan urusan dunia) bila dipuji, mereka merasa takut karena pujian itu datangkanya dari makhluk. Selalu merasa khawatir, kalau-kalau sampai terkena aib oleh pujian tersebut.[14]
Zuhud sangat diperintahakan dalam dalam beribadah. Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Ma’ud RA., sebagai berikut:
رَكْعَتَانِ مِنْ زَاهِدٍ عَلِمٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ الْمُتَعَبِّدِيْنَ الْمُجْتَهِدِيْنَ الىٰ اخر الدهر ابَدَا سَرْمَدًا
“Dua raka’at shalat yang dilakukan oleh orang yang zuhud lagi alim, lebih baik daripada ibadah yang dikerjakan oleh para ahli ibadah dan para mujtahidin sepanjang masa.”[15]
Dari bermacam-macam difinisi dan penjelasan tentang zuhud dapat ditarik suatu pengertian bahwa zuhud itu bukanlah orang yang anti dunia, tetapi orang yang tidak mau dijajah oleh dirinya dan dunia material.
Buah dari tasawuf adalah terdidiknya hati sehingga memperoleh ma’rifah terhadap yang ghaib secara rohani, selamat di dunia dan bahagia di akhirat, dengan mendapat keridoan Allah, memperoleh kebahagiaan abadi, memperoleh hati yang bersinar dan suci.[16]
Pengembaraan sipritual seseorang mencari Tuhan (salik) tidak mungkin dilaksanakan, kecuali setelah melewati proses penyucian hati. Untuk mendapatkan kebersihan hati maka berbagai langkah yang dilakukan oleh para Sufi, diantaranya: Takhalli, Tahalli, Tajjali.[17]
C.     TUJUAN TASAWUF
Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syekh Zakaria Al-Anshari mendefinisikan.[18]
Kesucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah merupakan dua faktor yang paling penting dalam ajaran Tasawuf dan menjadi perhatian utama. Perjalanan spiritual Tasawuf bertitik tolak dari kesucian qolbu.[19]
Hadits nabi menganai qolbu/hati:
... إن في الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدَ كُلّهُ ، وإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدَ كُلُّهٌ ألَا وَهِيَ القَلْبُ
Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari).[20]
Jadi, tujuan dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.

D.    Ajaran-ajaran Tasawuf
Buya Hamka mengemukakan bahwa: hidup kerohanian, hidup kebatinan atau tasawuf, sudahlah lama umurnya dn telah ada pada setiap bangsa. Kadang-kadnag tasawuf menjadi tempat pulang dari orang-orang yang telah payah berjalan. Tasawuf menjadi tempat lari dari orang yang telah tersesak. Tetapi pun tasawuf telah menjadi penguat pribadi bagi orang yang lemah dan tasawufpun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi orang-orang yang telah kehilangan tempat gerak.[21]
Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, bagian yang pertama yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Termasuk di dalamnya adalah teori-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian kedua ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akherat. Sementara ada lagi yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yakni:
1.      Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf yang menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-karimah. Akhlak adalah keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan perbuatan, dilakukan dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu. Dengan demikian, maka nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa, ada motifasi (niat) kuat dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa dipikir dan direnungkan sehingga perbuatan itu nampak otomatis. adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.\
Guna mencapai kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (pengosongan diri dari sikap tercela). Tahalli (menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).
2.      Tasawuf Amali
Ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh qalb (hati). Dalam bentuk wirid, hizib, dan doa. Selanjutnya tasawuf ini dikenal dengan tariqat (Arab: tariqah), jalan menuju Allah, yang selanjutnya menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi yang dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri kepada seorang guru (mursyid). Pengikut  tariqat harus berguru, sebab yang bertariqat tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan. Organisasi ini dihimpun dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan dengan nama perintisnya, seperti tariqat qadiriyah, naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya.
3.      Tasawuf  Falsafi
Ialah tasawuf yang dipadukan dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara total dan tidak pula bisa disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya, selanjutnya dikenal tasawuf Falsafi.
Ketiga model tasawuf tersebut hanya sebatas dalam sistematika keilmuan, bukan dalam tataran praktis. Ketiga menyatu pada pribadi yang satu dan utuh. Semua proses bertasawuf akan melalui tahapan takhalli (pembersihan hati dari sifat-sifat tercela) dan tahalli (menghiasi/mengisinya dari sifat-sifat terpuji) secara simultan, sehingga tercapai tajalli (tersingkapnya hijab/tabir) antara seorang hamba dengan Tuhan. Bagi orang awam (orang pada umumnya) mencapainya dalam tataran elementer, yakni mengetahui, menghayati dan mengamalkan kebenaran, sementara bagi khawwash dan khawash al-Khawash (istimewa dan sangat istimewa), mencapai ma’rifatullah dengan mencapai nur bashirah (mata hati) kesempurnaan serta kesucian jiwa, tiada lain kecuali harus melalui pendidikan  dan latihan mental (riyadlah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati/jiwa manusia itu bagaikan cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuatnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :
žxx. ( 2ö@t/ tb#u 4n?tã NÍkÍ5qè=è% $¨B (#qçR%x. tbqç6Å¡õ3tƒ ÇÊÍÈ
Artinya : Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS. 83:14) 
Namun apabila manusia mampu menghilangkan titik noda dan senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tersebut akan mudah menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran nur illahi. Bahkan lebih dari itu, hati jiwa seseorang akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.

E.     TOKOH
Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis.
Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW, untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi kami disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf:
A.    Tokoh-tokoh Ilmu Tasawuf klasik :
1.      Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857 M). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.
2.      Ibn Athaillah As-Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah As-Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhaddits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat Asy-Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al-Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual dikalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al-Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab At-Tanwir Fi Ishqat At-Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
Ibn Athaillah biasa menghadiri majelis Syekh Abu Abbas Al-Marsawi ra. Beliau sezaman dengan banyak ulama besar yang ahli makrifat, beliau meninggal pada bulan Jumadil Akhir tahun 709 H.[22]
3.      Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)
Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al-Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al-Ghayb (menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). [23]
4.      Al Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al-Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al-Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid Al-Junaed Al-Baghdadi, tetapi ditolak.
Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al-Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al-Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al-Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.[24]
B.     Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat
1.      Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad Al-Kazzaz An-Nihawandi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. Dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuai apa yang dianutnya.
Al-Junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh Al-Ta`ifah); sementara Al-Qusayiri di dalam kitabnya Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul Al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, Al-Junaid pernah berguru pada pamannya Surri As-Saqti serta pada Haris bin `Asad Al-Muhasibi.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Qusyairi: “orang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna.
Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
2.      Al-Qusyairi An-Naisabury[25]
Dialah Imam Al-Qusyary An-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim Al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr At-Thusy (385-460 H/995-1067 M), belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn Al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad Al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya Al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya.
Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama.
Karya-karya dari Al-Qusyairy diantaranya ialah; Ahkaamu As-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M.
3.      Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad Al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Dia adalah seorang faqih dari madzhab Hambali. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang aneh, seperti Al-Bustami dan al-Hallaj.[26]
C.  Tokoh-tokoh Tasawuf Nusantara
1.      Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang oleh orang Arab dinamai Fansur. Itulah sebabnya kemudian disebut Fansuri.[27] Kota Fansur tepatnya terletak di Pantai barat Provinsi Sumatra Utara.
Tidak diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri, tetapi masa hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an.
Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat behwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Samsudin Sumatrani adalah tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj.
Dalam bidang Tasawuf, ia mengikuti Tarekat Qodariyah, yang dibawakan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani. [28]
Mengenai Hamzah Fansuri sebagai penganut Tarekat Qodariyah dapat dipahami dari salah satu ungkapannya yang berbunyi:
            Hamzah Asalnya Fansuri
            Mendapat wujud di tanah Sharh Nawi
            Beroleh kepercayaan ilmu yang ali
            Dari Abd Qodir Jailani[29]

2.      Syeikh Yusuf Makasari
Seorang tokoh sufi yang berasal dari Sulawesi ialah Syeikh Yusuf Makasari. Beliau dilahirkan pada 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M.
Nama Yusuf dengan inisial Al-Makassari sesungguhnya menandakan bahwa tokoh ini berasal dari Makasar.
Naluri atau fitrah pribadinya sejak kecil telah menampakkan diri cinta akan pengetahuan keislaman, dalam tempo relatif singkat Al-Qur’an 30 juz telah tamat dipelajarinya. Setelah lancar benar tentang Al-Qur’an dan mungkin beliau termasuk seorang penghafal maka dilanjutkannya pula dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang ada hubungannya dengan itu. Dimulainya dengan ilmu nahwu, ilmu sharaf kemudian meningkat hingga keilmu bayan, ma’ani’, badi’, balaghah, manthiq, dan sebagainya.
Kitab-kitabnya antara lain :[30] Ar-Risalatun Naqsabandiyyah, Fathur Rahman, Zubdatul Asraar, Asraaris Shalaah, Tuhfatur Rabbaniyyah, Safinatunnajah, Tuhfatul Labiib.
3.      Syiekh Abdul Rauf as-Singkili
Nama lengkapnya Abdul Rauf Singkel dalam ejaan bahasa Arab disebut ’Abd Ar-Rauf bin ’Ali Al-Jawiyy Al-Fansuriyy As-Sinkilyy, selanjutnya akan disebut Abdurrauf. Ia adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil (Singkel) di wilayah pantai barat laut Aceh. Hingga saat ini tiak ada data pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Akan tetapi menurut beberapa pendapat ahli, Abdurrauf dilahirkan sekitar tahun 1615 M.  Mendasarkan dugaan setelah menghitung mundur dari saat kembalinya Abdurrauf dari tanah Arab ke Aceh pada 1661 M.[31]
Abdurrahman wafat pada tahun 1693 M dan dimakamkan disamping makam teuku Anjong yang dianggap paling keramat di aceh, dekat kuala sungai Aceh. Oleh karena itulah di Aceh ia dikenal dengan sebutan Teuku di Kuala. Berkat kemasyurannya, nama Abdurrauf diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Aceh, yaitu Univeraitas Syiah Kuala.
4.      Syekh Nawawi Al-Bantani
Lahir dengan nama Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut.
5.      Hamka
Hamka, atau nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia pada 17 Februari 1908 - 24 Julai 1981) adalah seorang penulis dan ulama terkenal Indonesia. Ayahnya ialah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul.
Beliau melibatkan diri dengan pertubuhan Muhammadiyah dan menyertai cawangannya dan dilantik menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah.Beliau melancarkan penentangan terhadap khurafat, bid'ah, thorikoh kebatinan yang menular di Indonesia.
6.      Walisongo[32]
Wali Songo yang sangat berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya Tanah Jawa, mempunyai andil yang besar dalam mengajarkan tasawuf kepada masyarakat. Pada abad ke-12 M, peranan ulama tasawuf sangat dominan di dunia Islam.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manusia selalu berupaya untuk mencari ketenangan dalam kehidupan. Berbagai cara yang dilakukan menusia untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Ajaran Agama Islam telah memerintahkan manusia untuk selalu mensucikan jiwanya,dan salah satu ajaran dalam Islam yang bertujuan untuk mensucikan jiwa,disebut dengan Tasawuf.
Ilmu Tasawuf bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia, sedangkan buah dari tasawuf itu diantaranya: zuhud, ihsan, taqwa sesuai dengan ajaran agama.
Ilmu tasawuf sebenarnya berkembang sejak permulaan Islam, yaitu dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., ahli tasawuf atau yang disebut dengan istilah sufi, tidak akan mencapai tujuan dalam tasawuf selama tidak mengikuti sunnah nabi.
B.     SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, dan bernilai ibadah bagi penulis/penyusunnya.
Selanjutnya, saya menyadari bahwa manusia tidak terlepas dari khilaf dan salah, dan saya juga menyadari bahwa banyak kekurangan dalam menyusun makalah yang sederhana ini karena keterbatasan ilmu dan materi yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran sangat saya harapkan agar kami bisa lebih baik dalam menyusun makalah.


DAFTAR PUSTAKA
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (1997) Surabaya : PT. Bina Ilmu.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (1997) Surabaya: Pustaka Progressif, cet. 2
Ahmad Sunarto, Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Barokah)
Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (2001)Surabaya: Terbit Terang
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (2012)Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. 1
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (1997)Bandung: Pustaka Setia
Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam Studi Islam (2013)Sungai Penuh: Kerinci Press, cet. 1
Imam Nawawi, Hadits Ar-Ba’in Nawawiyah (2012)Semarang: Pustaka Nun, cet. 4
Abu Nasr Abd Allah bin Ali al-Sarâj al-Thûsy, Kitâb al-Luma’, (1970)Qairo: Dar al-Kutub al-Haditsah
Ibnu ‘Atho’illah, Hakekat Ma’rifat(Surabaya: Bintang Usaha Jaya), hlm. 328
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (2001), Pustaka Setia: Bandung
M. Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011, cet. 2)
Hawasy Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (1930), Al-Ikhlas: Surabaya
Sayyid Husein, Ensiklopedi Tematis Spiirtualitas Islam Manifestasi (2003), Bandung: Mizan Media Utama
Fathurrahman, Oman. Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abadc 17, Bandung: Mizan, 1999



[1]  Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 30
[2] Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, cet. 2, 1997) hlm. 783
[3] Ahmad Sunarto, Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Barokah), hlm. 14. Penggunaan kata Shaf yang berarti “barisan”, juga bisa dilihat pada Qur’an Surat Ash-shaf ayat 4
[4]  Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit Terang, 2001), hlm. 16
[5]  Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1, hlm. 9
[6]  http://madinagate.org/index.php/id/akidah-filsafat-dan-tasawuf/item/4466-pengertian-tasawuf (Diunggah: tgl. 03-10-2017, 20:41) Dalam artikel ini mengutip dari: Qa’idah al-Tasawuf, Abu al-Abbas, Ahmad Muhammad Zaruq, hal. 3
[7]  Cecep Alba, Op.Cit, hlm. 10
[8]  Cecep Alba, Op.Cit, hlm. 11
[9]  A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm.202
[10]  Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 31
[11]  Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam Studi Islam (Sungai Penuh: Kerinci Press, cet. 1, 2013), hlm. 2
[12]  Imam Nawawi, Hadits Ar-Ba’in Nawawiyah (Semarang: Pustaka Nun, cet. 4, 2012), hlm. 3
[13] Abu Nasr Abd Allah bin Ali al-Sarâj al-Thûsy, Kitâb al-Luma’, (Qairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1970). h.6
[14]  Ibnu ‘Atho’illah, Hakekat Ma’rifat(Surabaya: Bintang Usaha Jaya), hlm. 328
[15]  Ibnu ‘Athoillah, Menyelam Ke Samudera Ma’rifat & Hakekat (SurabaAmelia:
[16]  Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1, hlm. 12
[17]  Menurut Asrifin (2001), langkah yang dilalui oleh ahli tasawuf diantaranya: Muatabah, Muroqobah, Mujahadah, Mukasyafah, Musyahadah, Mahabbah dan Makrifah.
[18]  Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam Studi Islam (Sungai Penuh: Kerinci Press, cet. 1, 2013), hlm. 3
[19]  Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit Terang, 2001), hlm. 25
[20]  Imam Nawawi, Hadits Abba’in (Semarang: Pustaka Nuun, 2012), cet. 10, hlm.9
[21] Ahmad Zuhdi, Aspek-aspek Tasawuf dalam Stud Islam, (Sungai Penuh: Stain Kerinci Press. 2013), h. 34.
[22]  Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1, hlm. 60
[23]  Ibid. Hlm. 46
[24]  M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm. 44
[25]  M. Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011, cet. 2), hlm. 130
[27]  M. Solihin, dalam buku; Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, mengutip dari: Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 57
[28]  Hawasy Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Al-Ikhlas: Surabaya, 1930), hlm. 37
[29]  M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm. 30
[30]  Sayyid Husein, Ensiklopedi Tematis Spiirtualitas Islam Manifestasi (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm. 205
[31] Fathurrahman, Oman. Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abadc 17, Bandung: Mizan, 1999

[32]  M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm. 50